Seberapa Lama Akar Itu Tertanam?

Pada suatu hari seorang tua yang bijaksana berjalan melalui hutan bersama seorang muda yang terkenal tidak bertanggung jawab dan kepala batu. Orang tua itu menghentikan langkahnya, lalu menunjuk sebuah pohon yang masih kecil. "Cabutlah pohon itu," katanya. Segera pemuda itu membungkuk, dan hanya dengan dua jari saja ia dengan mudah dapat mencabut pohon itu.

Setelah berjalan lebih jauh lagi, orang tua itu berhenti di depan sebuah pohon yang agak besar. "Coba cabut pohon ini," katanya. Sekali lagi pemuda itu menuruti perintahnya, namun kali ini dia menggunakan kedua tangannya dan dengan sekuat tenaga mencabut akar pohon itu.

Akhirnya, mereka berhenti lagi di depan sebuah pohon yang sangat besar. "Sekarang, cabutlah pohon ini!" perintahnya lagi.

"Wah, itu tidak mungkin!" protes pemuda itu. "Aku tidak dapat mencabut pohon sebesar ini. Untuk memindahkannya diperlukan sebuah buldoser."

"Engkau benar sekali," Jawab orang tua itu. "Kebiasaan, entah baik ataupun buruk, sama seperti pohon-pohon itu. Kebiasaan yang belum berakar dalam seperti pohon yang masih sangat kecil, dapat dicabut dengan sangat mudah. Kebiasaan yang akarnya mulai mendalam seperti pohon yang sudah agak besar; untuk mencabutnya diperlukan usaha dan tenaga yang kuat. Kebiasaan yang sudah sangat lama telah berakar sangat dalam, sehingga orang itu sendiri tidak bisa lagi mencabutnya. Jagalah dirimu agar kebiasaan yang sedang engkau tanamkan adalah kebiasaan-kebiasaan baik."

Coba ambil waktu dan selidiki hati Anda. Adakah kebiasaan buruk Anda yang masih sangat kecil tertanam di hati Anda? Adakah ‘pohon’ buruk yang sudah agak besar? Yang lebih penting, adakah ‘pohon’ besar yang sudah tertanam begitu lama? Jika ada, carilah penyelesaian masalah atas kebiasaan buruk Anda. Tanya orang lain yang menurut Anda bisa dipercaya dan mampu menyelesaikan masalah Anda.

Tidak hanya itu, berdoa kepada Tuhan merupakan obat bagi penyelesaian masalah Anda. Ubah sedikit demi sedikit perilaku yang buruk menjadi baik. Walau sesekali Anda gagal, terus ulangi. Dengan sikap ingin berubah yang total, Anda bisa membuang ‘akar’ jelek tersebut.

(Sumber: jawaban.com)
 

~ Ketika Kelerengku Tetap Hilang ~

Seorang anak laki-laki kehilangan salah satu kelerengnya, dia terus menghitung dan kembali menghitung. Dan ternyata memang benar jumlahnya tidak lagi sama, kelerengnya berkurang satu butir. Dia berusaha mencari dan menemukan, menanyakan kepada seisi rumah kalau-kalau ada diantara mereka yang tahu. Namu hasilnya adalah : "NIHIL", tak satu pun yang tahu.

Anak laki-laki itu mulai berdoa. Dia memohon kepada Tuhan agar dapat menemukan kelerengnya, dia sangat yakin Tuhan akan membantunya. Berhari-hari dia menaikkan doa yang sama. Kondisi demikian awalnya membuat ibunya bangga, memiliki seorang anak yang begitu yakin akan kemahakuasaan Tuhan. Namun lama-kelamaan orang-orang rumah menjadi kuatir apabila kelerengnya benar-benar hilang dan tidak pernah ditemukan, anak itu akan berubah menjadi tidak lagi percaya Tuhan.

Setiap petang ibunya selalu bertanya, apakah kelerengnya kesayangannya sudah ditemukan. Namun jawabannya selalu sama, "belum". Kecemasan keluarga semakin bertambah, hingga akhirnya mereka mendapatkan jawaban mengejutkan dari sang anak.
Waktu itu ibunya bertanya: "Nak, apakah kelerengmu sudah ditemukan?"
Anak laki-laki itu dengan cepat menjawab : "Belum!".
Mendapatkan jawaban singkat itu ibunya kembali bertanya : "Bagaimana jika seandainya kelerengmu benar-benar hilang dan tidak ditemukan kembali?"
Anak laki-laki itu segera menjawab: "Ah, tidak apa-apa, saya sudah mengubah doa saya kok," jawabnya ringan.
Ibunya menjadi semakin cemas: "Lalu...bagaimana bunyi doamu yang sekarang, Nak?"
Anak itu menghentikan memainkan kelereng-kelerengnya dan berkata: "Dulu saya selalu berdoa meminta supaya Tuhan segera mengembalikan kelereng yang hilang, karena saya yakin Tuhan mampu menemukannya, tapi ternyata sampai sekarang kelereng itu tetap hilang. Dan kalau Tuhan tidak bersedia mengembalikannya, maka saya pikir saya harus mengganti isi doa saya." Dia kemudian menarik nafas dalam-dalam dan melanjutkan perkataannya; "Sekarang saya berdoa, supaya Tuhan menolong saya untuk dapat melupakannya."


Dalam kehidupan yang kita jalani selalu ada hal-hal yang dengan mudah kita dapatkan dan miliki, tetapi ada juga hal-hal yang sulit bahkan tidak dapat kita miliki. Kesungguhan untuk mengupayakan memiliki apa yang dapat kita miliki adalah semangat yang indah. Membuat kita terus bergerak dan tetap berkarya, tetapi menjadi lemas dan duduk terkulai ketika kita tidak mampu memiliki apa yang kita ingin miliki bukanlah pilihan bijak dalam hidup kita.

Mendapatkan apa yang kita inginkan adalah kebahagiaan yang patut kita syukuri, tetapi tidak mendapatkan apa yang kita inginkan juga bukan bencana yang perlu kita tangisi terus menerus.

Jika kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita sukai maka mulailah belajar menyukai apa yang sudah kita dapatkan. Hanya dengan cara itulah maka hidup yang kia jalani pada akhirnya akan menjadi serangkaian kebahagiaan. Mendapatkan ataupun tidak mendapatkan itu bukanlah masalah, mengambil ataupun melepaskan juga bukan persoalan. Semua itu hanyalah cara untuk menikmati. Jika kita mengambil maka pertama-tama bukan untuk menambah, dan jika kita melepas juga bukan berarti kehilangan, karena yang menentukan adalah HATI-bagian terdalam dari diri kita. Saat kita memiliki maka kita tidak akan berlebih, dan saat kita melepaskan pun kita tidak akan merugi.

Jadi "ketika kelereng itu tetap hilang", kita tetap dapat bersyukur dan tetap menjalani hidup dengan indah karena masih ada banyak kelereng yang kita miliki. Dan ketika jumlah kelereng itu bertambah maka kita pun tidak akan menjadi sombong dan takabur, karena semuanya adalah anugerah.

-Bahana Agustus 2010-
 

Jatuh Cinta & Kemarahan

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya: "Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab: "Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."

"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada di sampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan.

Sang guru lalu berkata: "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan: "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?"

Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban.

"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah kata pun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan: "Ketika kamu sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, TAK mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang BIJAKSANA. Karena waktu akan membantumu."