3 kata yang sulit dikatakan maaf, tolong, terima kasih

Tolong, Terimakasih, dan Maaf

3 kata itu muncul berdasarkan tingkat kesulitan dan kekerapannya dalam penggunaan sehari-hari. Baiklah, urutan asli kemunculan kata sejak mulai bicara adalah 'ayah', 'mbah', [...] 'nggak', [...] 'bunda', [...] 'iya', 'tolong', 'terimakasih', 'maaf', [...]. Ada jeda panjang dan banyak sekali kata yang hanya sanggup saya wakilkan dengan [...].

Kalau saya pikir-pikir, urutan itu (hampir) persis dengan yang dikeluarkan oleh orang dewasa, ya? Paling gampang deh minta tolong, tapi minta maaf sangat tinggi tingkat kesulitannya. Tak heran kalau anak-anak punya urutan yang sama, ya. Toh mereka belajar dari orang dewasa :)
Tolong, bunda

Kalau kata 'tolong' ini tidak disertakan saat meminta, kami membiasakan anak untuk mengulang permintaannya. Diucapkan dengan nada sopan (tidak menyuruh), pakai kata 'tolong' di awal kalimat, dan tidak sambil merengek (setengah menangis).

Kalau sedang menangis bagaimana? Ya diam dulu. Sulit sekali untuk menyimak apa yang dikatakan orang yang sedang menangis (meraung-raung), apalagi anak kecil yang artikulasinya belum sempurna.

"Anak nangis kok disuruh diem, kejam amat? Ngga demokratis!"? Eeeh, bukan begitu. Kalau memang sulit untuk mengerem nangisnya (misalnya sedang sesenggukan dan megap-megap), ya biarkan saja anak menyelesaikan dulu tangisnya. "Ngomongnya nanti saja", biasanya kami bilang begitu.

Pangkulah, peluk, atau ditepuk-tepuk lembut punggungnya supaya tangisnya mereda. Setelah anak bisa bicara dengan lebih tenang, baru minta dia mengulangi apa yang tadi dikatakan.

Si bungsu lebih dulu terbiasa dengan 'tolong' ini, sedangkan si sulung sudah bisa pasang gengsi. Satu ketika dia ingin menonton VCD Thomas kesukaannya. Saya memintanya menggunakan kata 'tolong' ini. Ketimbang bilang tolong dan saya segera memasangkan untuknya, si sulung ini malah diam. Dia memilih duduk manis sambil menatap layar tanpa berkata apa-apa.

Butuh 5 menit penjelasan tentang keharusan memakai 'tolong' dan 5 menit diam lagi sebelum akhirnya ia meminta tolong. Dan ini tidak langsung berlaku untuk permintaan lain. Saat menonton ia meminta susu tanpa 'tolong'. Berulanglah kembali adegan tadi :D
Terimakasih, ayah

Minta tolong lebih mudah karena 'diikuti' dengan pemenuhan keinginan. Sedangkan 'terimakasih' mengikuti pemenuhan keinginan. Tidak ada 'reward' yang senyata pemberian hasil meminta tolong. Karena itu pada awalnya 'terimakasih' dikenalkan sebagai urutan kebiasaan.

"Kalau diberi atau ditolong, bilang terimakasih, ya". Anak mungkin belum bisa menghargai suatu perbuatan untuknya. Belum tentu karena tidak mau, bisa saja dia belum mengerti. Tidak apa-apa, semakin bertambah usia dan kematangan emosionalnya, dia akan belajar untuk mengerti. Bahwa apa yang dilakukan orang lain untuknya bisa jadi adalah atas 'kebaikan hati', belum tentu selalu karena ia berhak.

Betapapun sering saya mendengarnya, saya selalu terharu ketika anak berucap "Ma'acih, bunda" tanpa disuruh. Dan tentu saja kami wajib membalas dengan "Sama-sama". Seringnya sih ditambah dengan usapan di kepala dan atau ciuman di pipinya. *uh gemesnyaaaaaa…

Di awal-awal pembiasaan, bimbingan kami berupa "Mana terimakasihnya? Terimakasih, ayah" dijawab dengan "Sama-sama" oleh anak. Sama seperti, "Daud, kalau masuk rumah bilang 'Assalaamu'alaykum'', ya" yang disahut dengan "Alangkum calam".

Lucu. Tentu saja semua yang melihatnya tertawa. Salah, tapi tidak apa-apa. Toh sekarang sudah mengerti. Dan kami nyaris tidak pernah terbiasa, sehingga selalu tersenyum haru. Saya rasa kita semua senang mendengar kata 'terimakasih', bukan? Betapapun sepele yang dilakukan.
Maaf, bunda

Jika saya sedang sangat marah, biasanya saya akan meminta suami bergantian mengasuh agar saya bisa meredakan marah. Entah dengan masuk kamar, tidur, mandi, atau lainnya tergantung kesukaan.

Untuk awal pembiasaan, biasanya pasangan kita harus ada. Ialah yang akan membimbing dan menyontohkan pada anak bagaimana mengucapkannya. "Nak, bunda marah karena kamu [...]. Lain kali jangan begitu, seharusnya [...]. Sekarang minta maaf sama bunda. Bilang 'maaf bunda', ya".

Ini kata terakhir yang amat sangat sulit. Walaupun orangtua membiasakan diri meminta maaf ketika bersalah atau tidak sengaja menyakiti (menabrak, menginjak kaki, dan lain-lain), 'rasa' maaf ini belum tentu sampai. Apalagi jika 'terimakasih' masih berupa kebiasaan ketimbang kesungguhan perasaan untuk menghargai bantuan orang lain.

Tidak apa-apa. Kita sebagai orang dewasa juga tidak selalu mudah untuk berkata maaf. Jadi anda bisa bayangkan betapa lumernya kemarahan saya ketika anak saya menghampiri lalu mengelus-elus pipi saya sambil bilang, "Maaf, bunda".

Yang ada malah saya jadi menangis, memeluknya, dan samasekali lupa kalau tadinya saya marah (tuh kan, airmata menggenang lagi sekarang. betapa manisnya jika mengingat itu). Entah bagaimana dan apa yang ayahnya ajarkan, yang pasti saya suka sekali hasilnya.

*Terimakasih, ayah. Bunda sayang sekali sama ayah :) Maaf ya, bunda masih pemarah dan sering ngambek.
Kebiasaan dan contoh

Kebiasaan harus dimulai, kapanpun waktunya. Tidak ada kata terlalu dini atau terlambat. Teman atau orang lain yang melihat anak saya yang sedang berlaku sopan kadang berkomentar, "Anakmu lucu banget, siiiih! Sopan banget". Huhu… Andai mereka tahu bagaimana 'latihan'nya, tentulah mereka akan membatalkan kata 'lucu'.

Dan karena kehidupan anak adalah soal menyontoh, maka yang pertama harus membenahi diri adalah orangtua. Tidak haram bagi pasangan untuk mengingatkan, "Terimakasih, ayah" jika saya lupa berucap terimakasih atas bantuannya, sementara anak ada di dekat situ menyaksikan.

Tentu saja sopan-santun tidak hanya di depan anak. Kita toh orang dewasa yang bisa mengatur diri, yang sudah lebih dulu terbiasa dengan tata krama. Jangan lupakan hal yang sepele atau 'ah anak ngga lihat ini'. Siapa tahu mereka melihat dari kejauhan atau kebetulan sempat melihat ketika mereka lewat. Kelak mereka juga akan bisa menyontohnya dengan melakukan hal yang kita larang saat kita tidak melihat/tidak tahu.

Kesopanan bukan soal dilihat orang atau tidak. Kesadaran adalah sesuatu yang dapat diperoleh lewat belajar mengulang-ulang. Mengajarkan ini pada anak hingga mereka mengerti, ada di tahap yang lebih maju lagi.
Ajak semua orang

Sebuah perjuangan mendidik untuk semua anggota keluarga. Tak bisa hanya ayah-bunda, jika ada nenek, kakek, pembantu, saudara, atau siapa saja yang tinggal serumah kita juga harus meminta mereka untuk melakukan hal yang sama.

Jika tidak demikian, anak dapat mencari jalan pintas. Ketimbang memperbaiki kalimat dan menyisipkan kata 'tolong', mereka bisa memilih menyuruh orang lain yang tidak keberatan dengan ketiadaan kata 'tolong' tersebut.

Tak perlu sungkan untuk meminta ayah-ibu (kakek-nenek anak kita) untuk membantu kita dalam membentuk kebiasaan anak ini. Sekecil apapun, ada kemungkinan mereka tersinggung dan berkata, "Udah tau! Biasanya juga gitu! Kan saya yang dulu mengajari kamu". Tak perlu kecil hati atau berbalik marah. Rendahkan diri saja. "Cuma ngingetin, kok. Soalnya tadi aku lupa. Biar ngga lupa lagi, aku ngingetin mamah biar mamah bisa ngingetin aku balik" sambil nyengir.









BananaTalk.com

Penulis : jonathan widodo ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel 3 kata yang sulit dikatakan maaf, tolong, terima kasih ini dipublish oleh jonathan widodo pada hari . Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan 3 kata yang sulit dikatakan maaf, tolong, terima kasih
 

0 komentar:

Posting Komentar